Newest Post
// Posted by :Unknown
// On :Sabtu, 10 Mei 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyayah yang memiliki
posisi sangat penting, strategis, dan menentukan bagu pembangunan keswjahteraan
umat. Ajaran zakat ini menberikan landasan bagi tumbuh dan berkembangnya
kekuatan sosial ekonomi umat. Kandungan zakat ini mmemiliki dimensi yang luas
dan kompleks, bukan saja nilai-nilai ibadah, moral, spiritual, dan ukhrawi, melainkan juga nilai-nilai
ekonomi dan duniawi. Beragamnya nilai-nilai yang terkandung dari ajaran zakat
tersebut, memberikan landasan (hujjah) yang kuat dan rasional bagi
pemberdayaan dan pengembangan kehidupan masyarakat secara menyatu dan menyeluruh dari potensi zakat. Teraktualisasikannya
nilai-nilai tersebut, dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi
pembangunan dan peningkatan harkat dan martabat manusia serta membangun
peradapan secara hanif. Namun, tentu
saja kita menyadari bahwa dalam perjalanan sejarah masyarakat islam, kandungan
nilai-nilai tersebut baik secara teoritas maupun aplikatif mengalami dinamila
sesuai dengan situasi dan kondisi. Bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa pada sebagian
masyarakat terjadi kebekuan dalam pengungkapan kandungan nilai-nilai tersebut.
Akses informasi dan pembelajaran yang tidak merata menimbulkan “kejumudan” yang berkepanjangan sehingga
mengakibatkan pemahaman yang parsial dari hakikat ditetapkannya ajaran zakat
ini. Kita mengetahui bahwa tuhan memberikan suatu kewajiban pada umat manusia bertujuan
untuk membawa kebaikan bagi manusia itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian Zakat?
2. Apa saja nilai-nilai filosofis dalam zakat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian zakat.
2. Untuk mengetahui apa saja nilai-nilai
filosofis dalam zakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Falsafah
Zakat
Zakat dari segi etimologi
berarti suci (ath-thaharah), tumbuh,
dan berkembang (al-nama’), keberkahan
(al-barakah), dan baik (thayyib). Zakat dalam rumus fiqih
berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada
orang-orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu.[1]
Sedangkan dari segi terminologi agama zakat adalah bagian tertentu dari harta
benda yang diwajibkan Allah untuk sejumlah orang yang berhak menerimanya.[2]
Dengan cara
zakat inilah harta dan jiwa akan menjadi bersih dan suci. Harta seseorang yang
tidak dizakati adalah harta yang kotor dan tidak bersih, karena mengandung rasa
tidak berterima kasih kepada Allah. Hati pemiliknya begitu sempit, mementingkan
diri sendiri dan memuja harta benda,biasanya manusia mempunyai sifat yang
membanga –manggakan hartanya dan ingin dipandang orang yang kaya. Ia berfikir
bahwa mendapatkan kekeyaan itu dengan usahanya sendiri bukan dari Allah,
sehingga ia merasa berat untuk memberikan sebagian hartanya itu untuk orang
lain. Sebenarnya harta yang kita miliki itu mutlak dari allah, dan jika Allah
memberikan kekayaan melebihi kebutuhan yang kita butuhkan Allah memerintahkan
kepada kita untuk mengeluarkan sebagian hartanya untuk orang yang berhak
menerinanya atau berzakat.[3]
Orang yang hatinya sempit, sehingga tidak bisa memberikan pengorbanan seperti
itu, tidaklah berguna bagi Allah.[4]
Zakat
merupakan salah satu sendi pokok ajaran islam bahkan zakat dan salah dijadikan
Al-Qur’an dan hadis sebagai pelambang dari keseluruhan ajaran islam. Dan zakat
merupakan rukun islam yang ke tiga.
Artinya:
Apabila mereka (kaum musyrikin) bertaubat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara seagama.
(At-taubat 11).
Pelaksanaan
salat melambangkan baiknya seseorang dengan Tuhan, sedangkan zakat adalah
lambang harmonisnya hubungannya dengan sesama manusia.[5]
Orang yang beriman
hanyalah mereka yang mengerjakan salat dan zakat.[6]
Orang-orang yang beriman hanya bisa memperoleh kekuasaan apabila mereka bersatu
padu dan dengan sepenuh hati menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman
menjadi sahabat-sahabat dan pelindung mereka.menurut Al-Qur’an pernyataan
beriman kepada kalimah thayyibah saja tidaklah ada gunanya kalau tidak disertai
dengan salat dan membayar zakat.[7]
Zakat adalah
ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang telah memenuhi
syarat-syarat tertuntun untuk melaksanakannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan
hatinya, tetapi kalau pula dengan tekatan dari penguasa, dan karenanya agama
menetapkan amilin atau
petugas-petugas khusus yang mengelolanya, disamping menetapkan sanksi-sanksi
kepada yang enggan demi terlaksanakannya zakat sesuai dengan petunjuk-petunjuk
Ilahi.[8]
Ada tiga
landasan pilosofis dan kewajiban zakat.
a. Istikhlaf (penugasan sebagai khalifat di bumi)
Allah SWT adalah pemilik seluruh isi dunia ini. Secara
oitomatis Allah juga lah penguasa harta-harta manusia. dengan demikian. Seseorang yang beruntung mendapatkan
sejumlah harta pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk
disalurkan sesuai dengan kehendak pemiliknya dalam hal ini Allat SWT.[9]
Manusia yang beriman kepada Allah dan menyadari bahwa
pemilik yang sebenarnya dari seluruh harta benda yang disimpan dilangit dan
dibumi adalah Allah, bahwa pengurusan hidup manusia sebenarnya hanyalah ada di
tangan-Nya; bahwa perhitungan urusan yang sebesar debu pun ada pada catatnya.
Dan bahwa balasan akhir atas perbuatan-perbuatan baik dan buruk dari manusia
akan diberikan olehnya dengan perhitungan yang mutlak, maka akan mudahlah
bagiannya untuk mempercayakan diri padanya. Dan bukan kepada pendapat dan
fikiran diri sendiri, tentu ia akan mau membelanjakan harta bendanya menurut
arahan yang diberikan oleh Allah dan menyerahkan soal untung rugi kepadanya
semata-mata. [10]
Konsekuensi dan pemilikam mutlak terhadap harta benda
adalah bahwa manusia yang kepadanya dititipkan harta tersebut harus memenuhi ketetapan-ketetapan
Tuhan dalan hal ini yang berkaitan dengan harta tersebut baik dalam
pengembangan maupun dalam penggunaannya yakni, antara lain kewajiban untuk
mengeluarkan zakat demi kepentingan masyarakat bahkan sedekah dan infak di
samping zakat bila hal tersebut dibutuhkan.[11]
Tugas kekhalifahan/istikhlaf
manusia secara umum adalah tugas mewujutkan kemakmuran dan kesjahteraan dalam
hidup dan kehidupan (QS Al-An’am:165) serta tugas pengapdian atau ibadah dalam
arti luas (QS Adz-Dzariyat:56). Untuk menunaikan tugas tersebut,Allah
memberikan manusia anugrah sistem kehidupan dan sarana kehidupan (QS
Luqman:20).
Harta sebagai sebuah sarana bagi manusia, dalam pandangan
islam merupakan hak mutlak milik Allah SWT. Kepemilikan manusia hanya bersifat
relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai
dengan ketentuannya ( QS Al-Hadid:7 dan QS An-Nur:33). Harta yang dianggap
sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dan sebagai
bekal ibadah dapat pula sebagai bekal keimanan. Adanya ujian merupakan satu
bentuk penilaian terhadap kesadaran kepatuhan dan pengakuan bahwa apa yang
dimilikinya benar-benar merupakan karunia dan kepercayaan dari Allah bagi yang
menerimanya. Untuk itu wajib zakat merupakan suatu yang alamiyah bagi kehidupan
manusia, karena zakat yang dikeluarkan atau diberikan oleh seseorang dari harta
yang diperoleh, pada hakikatnya dikembalikan padapemilik utamanya yaitu Allah
SWT.[12]
Allah SWT menjadikan harta benda sebagai alat dan sarana
kehidupan untuk seluruh umat manusia sehinggga menggunakanna harus diarahkan
kepada kepentingfan mereka bersama, dan karena itu Allah melarang untuk
memberikan harta benda kepada orang-orang yang diduga keras akan
menyia-nyiakannya (walaupun uang tersebut atas namanya).
Artinya:
Dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta kamu ada dalam
kekuasaanmu. (An-Nisa:5)
Atas dasar inilah Allah SWT menetapkan bagian-bagian tertentu
dalan harta benda (antara lain dengan nama zakat) untuk diserahkan guna kepentingan
masyarakat banyak atau anggota-anggota masyarakat yang membutuhkannya. Sejak
semula tuhan telah menetapkan bahwa
harta tersebut dijadikannya untuk kepentingan bersama, bahkan agaknya tidak
terlebih jika dikatakan bahwa mulanya masyarakatlah yang berwenang menggunakan
harta tersebut secara keseluruhan kemudian Allah menganugrahkan sebagian dari padanya kepada pribadi-pribadi
yang mengusahakannya sesuai kebutuhan masimg-masing.[13]
Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuik
menggunakan apa yang diperoleh dari karunia-Nya. Namun ditegaskan bahwa karena dia bukanlah
satu-satunya khalifah dan karenanya
terdapat jutaan manusia lain yang mempunyai kedudukan yang sama sebagai khalifah, maka mereka pun mempunyai hak
yang sama. Untuk itu dalam proses pendayagunaan karunia Allah, perlu dilakukan
dengan cara yang efesien dan adil agar “saudara” yang lainnya mendapatkan
kemakmuran sebagaimana yang diperolehnya. Pada dataran ini, maka adanya
solidaritas sosial (al-ta’awun
al-ijtima’i) merupakan bagian lain dari dasar adanya kewajiban zakat.
Pengabaian kewajiban seseorang terhadap sesamanya
dipandang sebagai kegagalan yang serius dalam memenuhi kewajibannya terhadap
Tuhan. Oleh karenanya menurut Al-Qur’an pembayaran zakat oleh muzakki atau aghniya bukan merupakan
bentuk pemihakan terhadap si miskin.karena si kaya bukanlah pemilik riil
kekayaan itu (Al-Hadid:7). Begitu pula sebaliknya, mustahik / penerima zakat tidak boleh memandang penerimaan zakat
sebagai perlakuan tidak baik karena apa yang mereka terima sebenarnya adalah
hak mereka yang telah dibentuk oleh Allahdalam kekayaan orang-orang kaya (QS
Adz-Dzariyat:91 dan Al-ma’arij:25).
Dengan demikian penolakan terhadap adanya kewajiban zakat
merupakan sikap yang bertentangan dengan sunnatullah,
bahwa manusia sebagai khalifah dan
kekayaan adalah amanah Tuhan. Mereka yang melanggar sunnatullah dianggap termasuk orang yang tidak mensyukuri
karunia-Nya(Ali-Imran:180)[14]
b. Solidaritas sosial
Manusia adalah makhluk sosial, kebersamaaan sekian banyak
individu dalam satu wilayah membentuk masyarakat yang sifatnya berbeda dengan
individu-individu tersebut.
Manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan masyarakatnya,
bahkan sekian banyak pengetahuan yang diperolehnya melalui masyarakat, seperti
bahasa, adat istiadat, etika sopan santun dan lain-lain.
Demikian juga dalam bidang materiel (ekonomi) betapapun
seseorang mempunyai kepandaian, namun hasil-hasil materiel yang diperolehnya
adalah berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung disadarinya maupun
tidak.
Seseorang petani berhasil di dalam pertaniannya karena
adanya irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan, pakaian, stabilitas
keamanan yang kesemuanya tidak dapat ia diwujudkan kecuali oleh kebersamaan
pribadi-pribadi tersebut atau dengan kata lain masyarakat.
Seseorang pedagang demikian pula halnya, siapa yang
menjual kepadanya dan siapa pula yang membelinya kalau bukan masyarakat itu?
Dari segi lain, harus disadari produksi apapun bertuknya,
pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang telah di ciptakan dan
dimiliki Tuhan. Manusia dalam berproduksi hanya mengadakan perubahan,
penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan yang lain.
Demikian itu yang terlihat dalam bidang
pertanian,perindustrian,jasa dan sebagainya.[15]
Tuhan yang menciptakan bahan mentahnya dan manusia atas
petunjuk Allah SWT yang mengelolanya. Nah, kalau demikian wajarlah bila tuhan
menyatakan bahwa harta adalah milik-Nya, dan wajar pulalah bila ia
memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk
orang-orang tertentu[16]
c. . persaudaraan
Manusia berasal dan satu keturunan adam dan hawa,
sehingga antara seseorang dengan yang lainnya terdapat pertalian darah.
Persaudaraan akan lebih kokoh, jika pertalian darah diatas
ditambah dengan hubungan akidah dan kebersamaan agama.[17]
Jadi hubungan persaudaraan telah menuntut bukan sekedar
hubungan take and give( memberi dan menerima) atau pertukaran manfaan tetapi melebihi
itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan atau membantu walaupun yang
dibantu tidak membutuhkan, lebih-lebih lagi jika mereka bersama, hidup dalam
satu lingkungan.[18]
Dan
Zakat adalah alat yang sempurna untuk menterjemahkan prinsip Islam tentang
persaudaraan dan rasa kemanusiaan kedalam kehidupan yang nyata. Allah dengan
sangat jelas menginginkan agar zakat ditujukan sebagai suatu bentuk
‘kontribusi’ oleh setiap Muslim, lelaki dan perempuan, terhadap kemajuan dan
kesejahteraan suatu negara Islam.
“Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi ‘penolong’ bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At-Taubah: 71).[19]
Jadi
kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantar kepada kewajiban menyisihkan
sebagian harta benda dalam bentuk zakat(sadaqah).[20]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Zakat
adalah mengeluarkat sebagian dari harta benda atau perintah Allah, sebagai
sodakoh wajib kepada mereka yang telah ditetapkan menurut syarat-syarat yang
tertentu.dan didalam zakat terdapat nilai-nilia filosofisnya yaitu antara lain:
istikhlaf (penugasan sebagai khalifah di bumi),solidaritas sosial dan persaudaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Mas’udi,
masdar.f.dkk.2004.reinterprestasi
pendayagunaan ZIS.Jakarta: piramedia.
Syah , ismail Muhammad
dkk.1999.filsafat hukum islam catatan
ke3. Jakarta: PT bumi aksara.
Maududi, abdul a’ala.2001.dasar-dasar islam catatan ke3. Bandung: pustaka.
[1] Masdar
.F. Mas’udin, dkk. Rreinterprestasi
pendayagunaan, Jakarta: Piramedia 2004. Hlm 6
[2] Ismail
muhammad Syah dkk.filsafat hukum islam
catatan ke 3. Jakarta: PT Bumi Aksara 1999.Hlm 187
[3] Abu a’la
maududin. Dasar-dasar islam catatan ke 3.
Bandung: Pustaka. Hlm 171
[4] Ibid. Hlm 172
[5] Ismail
muhammad Syah. Loc cit Hlm 178
[6] Abu a’la
Maududin.op.cit.Hlm 175
[7] Ibid. Hlm 179
[8] Ismail
muhammad Syah. Loc.cit. Hlm 178
[9] Http
meringin makmur, blogspot.com/2012/12/filsafat
ibadah dalam zakat htlm
[10] Abu
a’ala maududin,op cit,Hlm 197
[11] Ismail
muhammad syah,op cit,Hlm 188
[12] Masdar
. F. Mas’udin dkk,op cit, Hlm 6-7
[13] Ismail
muhammad syah,op cit, Hlm 188-189
[14] Masdar
.F. mas’udin dkk,op cit, Hlm 7-8
[15] Ismail
muhammad syah, loc cit, Hlm 189
[16]
http,rumahpencerahan.blogspot.com?2011/01/folosofis zakat.htlm
[17] Ismail
muhammad syah, op cit, Hlm 190
[18]http
Nasional-inilah.com/read/detail/1769921/menyelami/filosofis zakat.htlm
[19]
Masdar.F.mas’udin.op cit, hlm 10
[20] Ismail
muhammad syah, loc cit. Hlm 190
- Back to Home »
- falsafah zakat , makalah filsafat umum »
- Nilai-Nilai Filosofis dalam Zakat
Related Posts :
falsafah zakat, makalah filsafat umumTotal Tayangan Halaman
Labels
- Artikel
- EI masa khulafaurasydin
- falsafah zakat
- hadis ekonomi 2
- Hukum
- i'jazul al-qur'an
- it for bissines
- IT for Business
- IT For Bussines dan Artikel
- kesimpulan sistem informasi manajemen
- konsep EI masa nabi muh SAW
- korelasi teknologi informasi dan manfaatnya dalam perbankan
- kumpulan kata bijak kehidupan
- lagu reggae
- Larangan Menimbun Harta
- makalah
- makalah ABS II
- makalah filsafat umum
- makalah manajemen akuntansi
- makalah MBS
- makalah perpajakan
- makalah SPEI
- makalah ulumul qur'an
- marketing & artikel
- Marketing dan Advertising
- Momonon
- penelitian
- Perdagangan Online
- perpajakan
- PPAP
- prilaku dan estimasi biaya
- Steven And The Coconut Treez
- tafsir ayat ekonomi 1
- Tony Q Rastafara
mata kuliah
TABDIV
Diberdayakan oleh Blogger.