Newest Post

// Posted by :Unknown // On :Senin, 23 Juni 2014


PERLINDUNGAN HUKUM DALAM SISTEM PERDAGANGAN ONLINE-SHOP

Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat menimbulkan adanya suatu gaya baru dalam sistem perdagangan. Beberapa tahun terakhir perdagangan online semakin marak terjadi di Indonesia. Sebut saja Kaskus, berniaga.com, bahkan online shop yang menggunakan facebook atau handphone sebagai alat pemasarannya. Orang-orang berlomba untuk meraup keuntungan dan pendapatan yang lebih dengan memanfaatkan teknologi informasi ini. Tidak dapat dipungkiri lagi, Online Shop menjadi salah satu alternatif yang paling menarik bagi konsumen untuk berbelanja selain berbelanja secara fisik. Bagi pelaku usaha, online shop dianggap menarik karena tidak memerlukan modal yang besar, pasar yang besar karena internet dapat diakses oleh para konsumen dari seluruh dunia, dan lainnya. Sedangkan bagi para konsumen, berbelanja di online shop dianggap lebih menarik karena harga yang ditawarkan biasanya lebih murah daripada berbelanja secara fisik. Namun dibalik semua kemudahan tersebut, online shop masih menyisakan beberapa persoalan tertutama dalam perlindungan konsumen seperti permasalahan mengenai penipuan, atau barang yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Lalu bagaimana hukum Indonesia mengatasi hal tersebut?

Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE ini diatur mengenai transaksi elektronik dimana salah satunya adalah kegiatan mengenai online shop ini. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai upaya UU ITE ini dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen ada baiknya kita mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan transaksi elektronik.

Dalam pasal 1 ayat 2 UU ITE ini yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”

Sesuai dengan pengertian diatas, maka kegiatan jual beli yang dilakukan melalui komputer ataupun handphone dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi elektronik.

UU ITE juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar. Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 UU ITE yang berbunyi :

“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” adalah meliputi :
  1. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
  2. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.
Saat ini banyak pelaku usaha di Indonesia yang tidak mengetahui mengenai kewajibannya sebagai pelaku usaha. Masih banyak pelaku usaha yang tidak mencantumkan alamatnya sebagai bentuk informasi yang disediakan, ataupun deskripsi mengenai barang/jasa yang ditawarkan tidak lengkap sehingga dapat merugikan konsumen.

Masalah lain yang dapat terjadi dalam suatu transaksi jual beli secara online ini adalah masalah mengenai kapan saat terjadinya transaksi jual-beli? Banyak penjual yang merasa sudah terjadi kesepakatan sehingga sudah memesan barang yang akan dijual, namun pada saat barang tiba, pembeli membatalkan untuk membeli barang tersebut dan berpendapat bahwa belum terjadi kesepakatan sehingga terjadi kerugian bagi pihak penjual.

Hal inipun telah diatur dalam UU ITE dalam pasal 20 UU ITE dijelaskan bahwa “kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima”. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum perdata dimana suatu perjanjian terjadi pada saat tercapainya kata sepakat. Oleh karena itu, setelah penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan perjanjian jual-beli, maka penjual dan pembeli tersebut sudah terikat dan memiliki kewajiban untuk mematuhi perjanjian tersebut. Untuk itu ada baiknya bahwa pernyataan “sepakat” tersebut disimpan sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti untuk menyatakan bahwa telah terjadi kesepakatan apabila dikemudian hari terjadi suatu perselisihan mengenai hal tersebut.

Satu hal yang menjadi permasalahan utama dalam perdagangan melalui online shop ini adalah baik penjual dan pembeli kekurangan informasi antara satu dengan lainnya. Informasi menjadi penting dalam sistem perdagangan melalui online shop ini dikarenakan penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung pada saat transaksi jual beli terjadi. Masing-masing pihak baik itu penjual maupun pembeli merasa khawatir bahwa salah satu pihak tidak akan melaksanakan kewajibannya dan menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Salah satu contoh kasus yang sering terjadi pada sistem perdagangan online adalah bahwa penjual tidak mengirimkan barangnya meskipun  pembayaran telah dilakukan. Apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai “penipuan”? Lalu bagaimana perlindungan terhadap konsumen yang telah dirugikan tersebut ?

Pada dasarnya penipuan secara online tidak jauh berbeda dengan penipuan secara konvensional. Yang membedakan hanyalah sarana perbuatannya, dalam penipuan secara online, penipuan tersebut menggunakan sarana elektronik. Karena itu, penipuan secara online dapat dikenakan pasal 378 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”

UU ITE juga telah mengatur bentuk penipuan secara online ini. Dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa :
              Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Dalam pasal 45 ayat 2 UU ITE menyebutkan bahwa ancaman pidana dari penipuan secara online ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 Milyar.

Meskipun UU ITE ini sudah memberikan pengaturan mengenai permasalahan yang mungkin terjadi dalam perdagangan melalui sistem online ini, namun pada kenyataannya permasalahan ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pengaturan UU ITE ini saja. Saat ini, belum ada mekanisme pengaduan yang mudah bagi pihak yang menderita kerugian. Mekanisme yang ada saat ini hanyalah sistem pengaduan sesuai dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Mekanisme ini dinilai kurang cocok jika diterapkan pada sistem pengaduan dalam perdagangan online. Nilai transaksi yang tidak terlalu besar menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak yang menderita kerugian untuk tidak melaporkan kerugian itu kepada aparat penegak hukum. Terlebih lagi, terdapat paradigma bahwa biaya untuk pelaporan tersebut lebih besar daripada kerugiannya itu sendiri.

Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem pengaduan yang cepat, mudah dan terutama harus secara online juga. Ada baiknya aparat penegak hukum juga mengeluarkan daftar hitam/blacklist bagi pengguna perdagangan secara online ini yang telah terbukti merugikan pihak lain.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

K-On ! Green!

Total Tayangan Halaman

mata kuliah
Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

// Copyright © lianurjanah //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //